Merancang Gagasan Solutif atas Permasalahan Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban

Nah, pada aktivitas kali ini, kamu akan diajak merancang sebuah gagasan saintifik sederhana yang boleh jadi sebetulnya sering kamu lakukan, tetapi terkadang tidak menyadari prosesnya. Mari, kita mengingat kembali apa yang sering kita lakukan.

Pernahkah kamu menyesali sebuah kejadian yang menimpa diri atau lingkungan sekitar dengan menanyakan, mengapa aku tidak berbuat begini, dan begitu, atau lain sebagainya? Atau, kamu mengamati sebuah kejadian dan berpikir, “Seandainya aku yang ada pada posisi itu, aku akan . . . .”

Merancang Gagasan Solutif atas Permasalahan Pelanggaran Hak dan Pengingkaran Kewajiban

Pada aktivitas kali ini, kita akan mengumpulkan gagasan itu melalui sebuah proses saintifik sederhana untuk mengidentifikasi permasalahan pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban. Namun sebelumnya, kita akan bahas terlebih dahulu, suasana kebatinan apa yang memotivasi warga negara muda untuk mengatasi pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban. Untuk bahan pengayaan, kamu dapat membaca artikel tentang eksistensi solidaritas putra Solo di Kota Medan berikut ini. Kamu juga akan menemukan alasan mengapa pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban membutuhkan gagasan solutif terutama dikaitkan dengan cita negara hukum Pancasila.

Berikut ini alasan mengapa pelanggaran hak dan pengingkaran kewajiban membutuhkan gagasan solutif terutama dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila.

1. Warga Negara Muda Berkomitmen Menegakkan Hukum dan HAM

Pada pembahasan sebelumnya, kamu mendapatkan penjelasan tentang siapa warga negara dan penduduk. Jika ada istilah warga negara muda, itu merupakan panggilan untuk kamu sebagai warga negara harapan bangsa. Setiap generasi memiliki tantangan sesuai zamannya masing-masing. Tantangan yang dihadapi oleh kamu sama beratnya dengan generasi sebelumnya ketika memperjuangkan hak dan melaksanakan kewajiban.

Pada pembahasan berikut, kamu akan diajak untuk mengidentifikasi mengapa pelanggaran dan pengingkaran tersebut terjadi di negara ini. Hal ini menjadi kerisauan lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP, 2019:x). Dalam sambutan peluncuran buku Pancasila Dialektika dan Masa Depan Bangsa, Hariyono sebagai Ketua BPIP menyatakan tantangan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan publik di era kekinian di antaranya: (1) menguatnya individualisme; (2) liberalisme pasar; (3) radikalisme-fundamentalisme “agama”; (4) kosmopolitanisme; (5) ideologi transnasional; dan (6) dominasi sistem hukum modern, yang menegaskan makna nasionalisme di era globalisasi. Di samping itu, dia menyebutkan tantangan yang tidak kalah krusialnya: (1) distorsi (pemutarbalikan suatu fakta) pemahaman Pancasila, (2) eksklusi sosial, (3) melemahnya keteladanan Pancasila, (4) melemahnya institusionalisasi Pancasila, dan (5) tantangan keadilan sosial yang telah mencabik kita baik secara individu maupun sosial dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Data menunjukkan bahwa terdapat tiga isu yang saling terkait sebagai tantangan dalam implementasi ideologi Pancasila. Pertama, kemiskinan –eksklusi sosial – underclass, di antaranya hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan (MPd) yang sedang dilakukan oleh Studi Perdesaan Universitas Gajah Mada (2013) khusus yang menyangkut tingkat perkembangan atau kondisi eksklusi sosial yang tidak sama untuk setiap desa di Indonesia. 

Kedua, evaluasi kritis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial (2013), khusus yang terkait dengan usaha intervensi yang lebih berlandas pada inovasi pertanian. Dengan demikian, hanya dengan modernisasi ekologik, pengentasan kemiskinan dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan. Ketiga, evaluasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri, khusus yang terkait dengan begitu banyaknya investasi di daerah perdesaan yang cenderung merusak lingkungan hidup masyarakat. Akibatnya, sangat boleh, hal itu memperbesar lagi eksklusi sosial dan akhirnya berujung pada pemiskinan (Robert M.Z. Lawang).

Menurut Agus Machfud Fauzi dalam buku Potret PPKM dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia (2021), eksklusi sosial adalah tindakan masyarakat untuk menyingkirkan individu atau komunitas dari sistem yang berlaku. Akhirnya, menimbulkan ketidakberdayaan seseorang untuk berpartisipasi dalam masyarakat.

Dalam menghadapi tantangan itu, Indonesia harus berkomitmen kuat dan menempatkan Pancasila sebagai ideologi, pandangan-dunia, dan dasar negara, yang nilai-nilainya niscaya diwujudkan melalui proses Pembangunan yang konkret. Pembangunan itu di antaranya bidang: (1) mental-spiritual dan sumber daya manusia; (2) ekonomi, pendidikan, dan kesehatan; (3) pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (4) pertahanan dan keamanan; (5) penegakan hukum dan HAM; (6) produksi; dan (7) perhubungan dan distribusi (BPIP, 2019:x).

Kamu dapat menggarisbawahi bahwa bidang penegakan hukum dan HAM merupakan salah satu komitmen yang dapat menghadang tantangan yang dihadapi bangsa ini, terutama dengan cara mendidik warga negara muda berkomitmen untuk menegakkannya. Bagaimanakah caranya? Salah satu caranya ialah memberikan pendidikan karakter tentang nilai-nilai Pancasila. Mari, kita telusuri sejarah nilai Pancasila terutama tentang perikemanusiaan.

Di hadapan kader-kader Pancasila pada tanggal 5 Juli 1958, Presiden Sukarno memberikan “Kursus Pancasila” dan mengurai secara mendalam topik mengenai “Perikemanusiaan dalam Pancasila”. Pada kesempatan itu, Sukarno menegaskan, “menschlichtkeit, kemanusiaan itu memang dari dulu ada. Rasa perikemanusiaan ialah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil daripada pertumbuhan kebudayaan, hasil daripada alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Tertampiknya Tuhan dan realitas spiritual dalam ruang-sadar mereka.”

Maksud dari tulisan di atas bahwa menurut Presiden Sukarno, perikemanusiaan itu pada dasarnya sudah mendekam dalam rohani seseorang dan hanya perlu ditumbuhkan dan dikuatkan. Dalam hal ini, simpati merupakan salah satu wujud dari rasa kemanusiaan itu. Bahkan, diperkuat kembali dengan menyadarkan diri manusia di era modern, yakni membangun imajinasi untuk menumbuhkan rasa empati. Hal ini diungkapkan dalam buku Pancasila, Dialektika dan Masa Depan (2019), berikut cuplikannya.

Seorang filsuf dan pemikir, Martha Nussbaum, berpandangan bahwa simpati membuat seseorang mampu memosisikan dirinya seperti dalam situasi orang lain. Simpati membuat seseorang mampu membayangkan dirinya berada di dalam posisi orang lain. Simpati menumbuhkan kesadaran seseorang untuk menganggap dan memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia, dan bukan sekadar objek di sekitar kita. Kita menjadi mampu membayangkan dan merasakan apa yang menimpa orang lain, seperti diperlakukan tidak adil karena identitas gender, pilihan agama, pilihan politik, dan sebagainya.

Dengan memahami arti pentingnya nilai perikemanusiaan dalam aktivitas pembelajaran, semoga kamu bisa menumbuhkan rasa simpati terhadap penderitaan orang lain.

2. Mengidentiikasi Permasalahan Pelanggaran Hak di Lingkungan Sekitar

UUD NRI Tahun 1945 merupakan pengejawantahan dari sila-sila Pancasila, termasuk sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua Pancasila meresap di dalam pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang hak dan kewajiban.

Sejatinya, sila kedua Pancasila ini mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Berada pada posisi strategis, persilangan dua benua dan dua samudra luas, dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang dimilikinya, Indonesia menjadi “medan perjumpaan” antarperadaban.

Kebinekaan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Menimbang kebinekaan yang menjadi ciri keunikan Indonesia, bagaimana kita dapat melahirkan kesadaran yang akan membuat masyarakat lebih adil, inklusif, berkeadaban, dan berkepribadian?

Sila kedua Pancasila mengandaikan pentingnya menekankan nilai-nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia (human rights), menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity), mendorong pencapaian taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Ketika kamu memahami sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ini merupakan prinsip untuk memperlakukan semua orang secara manusiawi tanpa terkecuali. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan kita bahwa setiap orang memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus diatur dan dilindungi dalam hukum negara.

3. Mengidentiikasi Permasalahan Pengingkaran Kewajiban di Lingkung

Bangsa Indonesia pernah merasakan penjajahan fisik yang tidak sebentar. Seluruh warga masyarakat dibebani dengan kewajiban melaksanakan kehendak penjajah. Berbagai hak tidak terpenuhi, hanya kewajiban yang dilakukan tanpa tahu kapan kewajiban tersebut sudah terpenuhi dan ditunaikan.

Pelaku akan mempertahankan kekuasaannya karena sangat menyenangkan. Seperti yang dinyatakan oleh Lord Shang, “jika ingin mempertahankan kekuasaan, lemahkan rakyatnya”. Atau, Lord Acton yang menyatakan (1) power tends to corrupt, dan (2) absolute power corrupts absolutely. Mari, kita lihat perbaikan yang sudah dilakukan bangsa ini sejak merdeka.

Kamu tidak merasakan zaman penjajahan fisik pada masa lampau. Namun, kamu dapat berempati untuk merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun. Kita harus terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dan pola tindakan internasional yang merendahkan martabat kemanusiaan (human dignity).

Sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Sukarno memekikkan, “Satu banjir yang mahasakti, banjir daripada revolusi Indonesia yang sebenarnya ialah sebagian daripada revolution of mankind.” Di balik gemuruh orasi itu, Sukarno ingin menegaskan satu hal bahwa revolusi sejati tak lain dari revolusi kemanusiaan itu sendiri. Artinya, dari sejak perang kemerdekaan, Bapak Proklamator mengingatkan bangsa ini untuk mengubah cara pandang kita. Mengganti cara berpikir dan bertindak kita dari yang terbiasa dijajah dan mengikuti perintah orang lain tanpa daya, sekarang harus mampu mendayakan diri untuk memahami apa yang seharusnya dilakukan, seperti melaksanakan kewajiban dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Terkait dengan perihal memenuhi sifat adil, Mohammad Hatta (1966) mengingatkan, bahwa yang harus disempurnakan dalam Pancasila ialah kedudukan manusia sebagai hamba Tuhan, yakni satu sama lain harus merasa bersaudara. Hatta mengatakan, "Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup. Dalam segala hubungan manusia satu sama lain, harus berlaku rasa persaudaraan."

Sementara, menyangkut sifat beradab, Ki Hajar Dewantoro dalam Notonagoro (1950), mengatakan bahwa, “Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa yang beradab, berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar kemanusiaan yang universal, yang meliputi seluruh alam kemanusiaan seluas-luasnya, begitu pula dalam arti kenegaraan pada khususnya.”

Salah satu imajinasi para pendiri Republik ini, mengukuhkan tekad dalam narasi dasar “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Tekad tersebut mengandaikan sebuah gerak transformasi cara hidup setiap warga negara Indonesia. Dengan demikian, kita tidak lagi berpikir, merasa, dan bertindak sebatas prinsip-prinsip etnik, budaya, dan agama tertentu, tetapi berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, keadilan, dan keadaban (civility).

Itulah mengapa kamu diminta untuk mengidentikasi diri dan masa depan. Dengan demikian, kamu mampu menempatkan diri sebagai manusia paripurna dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Berfokus pada apa yang dibutuhkan oleh bangsa untuk masa kini dan akan datang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel